BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Jumat, 05 Juni 2009

Dibonceng Tetangga

Aku baru seminggu di mutasi kerja dan ditempatkan di daerah konflik Ambon ini. Memang gaji yang kudapatkan lebih tinggi dan berlipat lipat dibandingkan gajiku di daerah Pulau Jawa. Karena memang tugas dari kantor, mau tidak mau aku harus terima.

Kebetulan tinggalku dekat dengan kompleks Brimob yang bertugas mengendalikan kerusuhan di Ambon ini. Suatu malam, aku baru pulang dari kantorku langsung menuju ke mall terdekat untuk berbelanja keperluan sehari hari. Malam itu hujan deras baru mengguyur kota Ambon. Selesai berbelanja, aku segera berjalan melintasi tempat parkir menuju jalan raya. Namun aku berpapasan dengan Pak Prapto, salah seorang Brimob yang juga tetangga sebelah tempat tinggalku.
”Abis belanja ya dik Raman,”tanya Pak Prapto.
”Iya nih pa”jawabku sekenanya.
”Ini mau pulang ya?. Yuk bareng. Kebetulan saya juga sudah mau pulang”,tawar Pak Prapto. Daripada naik angkot, maka langsung kuterima tawaran Pak Prapto.

Pak Prapto adalah seorang Brimob berpangkat Bripka. Secara fisik, Pak Prapto lebih pendek dariku, tapi perawakannya begitu jantan. Tangan dan kakinya tampak berotot, sementara bekas cukuran selalu membuatnya tampak lebih macho.
Selama perjalanan, aku tak henti-hentinya memandang tubuh kekar Pak Prapto dari belakang. Sudah lama aku impikan berdua sedekat ini dengannya. Kini, ia memakai celana training tipis, kaos hijau ketat, dan jaket yang membuatnya tampak lebih berwibawa. Selama berboncengan, aku lebih banyak diam karena otakku berfikir keras membayangkan sosok jantan di depanku ini.

Setelah beberapa waktu, aku mulai memberanikan diri meletakkan kedua tanganku pada masing-masing paha Pak Prapto. Tak tampak penolakan sedikitpun darinya. Menyadari hal demikian, selang berapa lama aku pindahkan tanganku, sehingga kedua tanganku kini melingkar di perut Pak Prapto. Hal ini pun juga tidak mengurangi konsentrasi Pak Prapto dalam berkendara. Mungkin hal ini menjadi hal biasa baginya, tapi bagiku ini adalah sebuah kesempatan yang sangat sayang jika dilewatkan.

Kugesek-gesekkan tanganku secara perlahan pada perutnya, dan ternyata dapat kurasakan kerasnya perut Pak Prapto.
"Sebuah hasil dari latihan militer yang sedemikian keras" pikirku.
Aksiku hanya sebatas menyentuh perutnya, tidak lain. Aku tidak melakukan hal yang lebih jauh, karena aku masih belum cukup bernyali untuknya. Akhirnya, dengan tanganku yang melingkar di perut Pak Prapto, perjalanan pulang ke kompleks Brimob kami habiskan dengan mengobrol kesana kemari, termasuk seks.

Sebagaimana kudengar, Pak Prapto ternyata mengaku memiliki libido yang cukup besar. Ia juga mengaku mudah terangsang dan selalu ingin segera melampiaskan nafsunya itu. Tapi untunglah, pekerjaannya mampu membantunya menurunkan libido yang sering muncul secara tiba-tiba. Biasanya, libido yang sempat ditahannya selama hampir beberapa bulan, ia salurkan dengan menggauli istrinya, saat ia pulang ke Jogja pada saat cuti atau liburan. Menurut cerita Pak Prapto, setelah sekali main di sore hari, kemudian disambung di malam harinya, lantas pada saat ayam jantan berkokok kembali dia menggauli istrinya. Itupun Pak Prapto masih mengaku masih kurang puas. Biasanya secara diam-diam ia mengocok sendiri kontolnya di kamar mandi.

Akibat obrolan-obrolan kami itu ternyata telah membuat kontolku ngaceng. Aku ingin berbuat yang lebih lagi dengan Pak Prapto, tapi kuurungkan niatku itu karena ternyata motor sudah membawa kami mendekati kompleks Brimob tempat kami tinggal.
Pak Prapto menawariku untuk mampir. Meskipun tawaran itu awalnya Cuma basa-basi, tapi aku tidak menyia nyiakannya. Segara aku menyetujuinya.
Akhirnya sampailah di mess tempat tinggal Pak Prapto di kompleks perumahan Brimob. Setelah memarkir kendaraan, ia segera mempersilakan aku duduk di ruang tamunya. Pak Prapto masuk ke kamarnya, dan tak berapa lama kemudian ia sudah keluar hanya dengan boxer dan kaos ketat hijaunya. Kulihat sepintas, kontolnya agak menonjol di balik celana berbahan katun itu.

Kami kembali terlibat dalam obrolan seru, namun kali ini aku tidak begitu terfokus pada pembicaraan karena aku lebih tertarik untuk mencuri-curi pandang ke arah jendolan di celana boxer Pak Prapto. Sesekali, kulihat tangan Pak Prapto mengusap dan menggaruk jendolan itu.
"Trus kalau pas istri Bapak nggak ada gini, gimana cara menyalurkan nafsu Bapak itu?" tanyaku selalu menjurus pada hal-hal yang berbau seks.
Aku yakin bahwa ini akan membuka jalanku untuk berbuat lebih jauh dengan Pak Prapto.

"Ya, biasanya sih suka ngocok sendiri. Nikmatnya sih jauh beda dibanding sama istri. Lebih nikmat punya istri" kata Pak Prapto dengan nada bercanda.
"Emangnya nggak mikir untuk nyoba dengan yang lain, Pak?" tanyaku lagi.
"Maksudnya dengan pelacur, gitu?" tanyanya skeptis.
Aku hanya mengangkat bahuku.
"Nggak ah, takut penyakit. Siapa tahu di dalamnya sudah banyak bibit penyakit yang nantinya malah nular? Hii..!"Pak Prapto menjawab sambil bergidik.
"Kan bisa pakai kondom, Pak!" kataku seolah mengejar jawaban Pak Prapto.
"Rasanya kurang nikmat. Dulu pernah saya begituan pake kondom sama istri saya, dan saya kurang bisa menikmati. Lebih enak alami, Dik!" katanya seraya mengelus jendolan di celana boxernya lebih intens lagi.
"Udah kebelet ya, Pak?" tanyaku hati-hati, ”Kok daritadi menggaruk-garuk selangkangan”,pancingku agak kurang ajar. Aku sudah siap andai dimarahi atau diangga kurang ajar. Sebab jika tidak nekat seperti ini, sampai kapanpun aku ga akan punya kesempatan.
Lalu aku memberanikan untuk duduk mendekati Pak Prapto. Kujulurkan tanganku ke jendolan boxernya..
"Memangnya harus dengan istri Bapak? Gimana kalau sama saya, Pak?".

Pak Prapto mengernyitkan dahinya tanda heran. Tangannya menepis tanganku, tapi aku dengan berani meletakkannya kembali ke atas gundukan di bagian depan celananya.
"Hah?? Maksudnya apa?. Jangan kurang ajar ya”,bentaknya padaku.
Aku tak memberi jawaban apapun, hanya saja tanganku masih tetap mengelus bahkan meremas jendolan selangkangan Pak Prapto.
”Daripada dikocok sendiri, mungkin aku bisa membantu mengocoknya”,tawarku agak kurang ajar.
Lalu tangankupun semakin liar bergerilya mengelus paha berbulu itu. Lalu tangan yang satunya merems-remas jendolan selangkangan itu.
Pak Prapto menggelinjang, entah merasa kegelian atau merasakan sensasi remasan di daerah sensitifnya.
Aku semakin lebih jauh. Tanganku telah menyusup disela sela celana boxer dan berusaha menembus ketatnya celana dalamnya. Kudengar Pak Prapto mengeluarkan desahan-desahan kecil.Kulirik jendolan di celana boxer itu semakin bergerak-gerak dan bisa kurasakan kontol itu semakin membesar dan memanjang.

Setelah melakukan aksi meraba dan mengelusi bulu-bulu di paha dan pantatnya, lantas aku membuka boxer Pak Prapto dengan mulutku. Kubuka perlahan ke bawah, hingga kontolnya yang kini sudah ngaceng sepenuhnya keluar dari sarangnya. Kontol yang disunat itu tampak gagah dengan kepalanya yang memerah dan batangnya yang berwarna coklat gelap. Aku tak tahu seberapa besar kontol itu. Yang jelas saat kugenggam kontol itu dari pangkalnya, sebagian dari batang dan kepalanya masih jelas terlihat.

Kulucuti boxer itu, hingga kini Pak Prapto setengah telanjang. Paha berkulit putih penuh bulu itu begitu kokoh, menambah libidoku semakin memuncak. Lalu aku meraba-raba ke perutnya, menjalar ke arah dada dan ke kedua putingnya. Dengan terus meraba, aku berusaha menanggalkan kaosnya. Setelah melepas kaosnya, kini tak selembar pun kain yang menempel pada tubuhnya. Tampaklah dengan jelas dada bidang berkulit sawo matang, halus tanpa bulu. Bahu, dada, dan perutnya tampak bagus tercetak oleh latihan militer yang selama ini ia jalani. Setalah berhasil kutelanjangi, Pak Prapto melipat tangannya ke belakang kepala, hingga ia berbantalkan kedua telapak tangannya di atas sebuah bantal empuk. Tampaknya ia telah terkuasai nafsunya, sehingga dia seolah menantikan aksiku padanya.

Lalu kulepas jaket kainku, kemudian kuperlakukan sedemikian rupa hingga kain halus Jaket yang berwarna oranye berada di luar. Sedang kain hitam yang agak kasar ada di bagian dalam. Kedua tanganku kuselimuti dengan jaket itu, dan kuletakkan bagian berwarna oranye pada jaket itu mengelilingi kontol Pak Prapto.

Pak Prapto sedikit tersentak dengan aksiku itu, tapi detik selanjutnya ia merasakan nikmatnya dielus dengan menggunakan kain halus jaket itu. Tak henti-hentinya kudengar desah nafas Pak Prapto, yang semakin membuatku ingin bertindak lebih jauh. Setelah beberapa waktu meremas dan mengelus kontol Pak Prapto dengan kain halus jaket, aku segera melempar jaket itu ke lantai dan menggenggam erat kontolnya dengan tangan kananku. Kutundukkan mukaku, hingga kontol itu terkulum mulutku. Pak Prapto agak kaget dengan aksi oralku ini. Namun dia rupanya semakin dikuasai oleh nafsunya, sehingga hanya terdiam menunggu aksiku. Dengan sedikit meludahi kontol Pak Prapto dalam kuluman mulutku, segera kulepaskan lalu kugantikan dengan kocokan tangan kananku dan kugerakkan kontol itu naik turun.
"Dik Bondan.. Uuhh.. Nghh.. Terus, Dik!" kata Pak Prapto di sela-sela desah kenikmatannya.

Tak ingin membuang banyak waktu, aku segera mendaratkan kecupanku di batang kontol Pak Prapto. Masih kugenggam batang itu, sambil kumainkan lubang kencingnya dengan jempolku. Kali ini, tampaknya Pak Prapto tidak mau melewatkan saat-saat dimana kontolnya diperlakukan dengan nikmat. Ia duduk dan segera menyandarkan badannya ke sandaran sofa. Pak Prapto mengangkangkan kakinya, sehingga memberiku area yang lebih luas untuk bermain-main dengan kejantanannya itu.

Aku segera meletakkan bibirku kembali ke batang kontolnya, dan mulai menjilatinya. Kemudian aku berpindah ke kepala kontolnya yang telah mengeluarkan precum. Kujiati seluruh precum yang ada, terasa asin dan perlahan mulai kumasukkan kepala dan batang kontol itu ke dalam mulutku. Senti demi senti telah masuk, namun tak seluruhnya mampu kumasukkan. Aku mulai menggerakkan kepalaku naik turun, mengemut batang kontol coklat itu. Pak Prapto tidak tinggal diam mendapati kontolnya diembat seorang lelaki. Ia meraih bagian belakang kepalaku, dan meremas-remas rambutku. Kakinya pun juga tak mau kalah berperan. Pak Prapto terkadang mendekapkan pahanya erat-erat ke kepalaku. Nafas Pak Prapto mulai menderu, seiring dengan gerakan kepalaku yang kupercepat. Pantatnya juga bergoyang-goyang menikmati sensasi yang dilahirkan dari kontolnya yang sedang kukulum. Saat kurasakan Pak Prapto sudah mencapai satu taraf dibawah orgasme, aku segera menghentikan permainanku.

Aku berdiri, lantas turun dari sofa. Kusuruh Pak Prapto untuk berpura-pura memperkosa aku, dan ia menurut. Ia mendekapku dari belakang, dan berlagak seakan-akan mencekikku jika aku tidak menuruti apa yang ia mau. Aku pasrah. Lantas, ia membanting tubuhku ke sofa ruang tamu itu, dan ia menindihku. Dengan penuh nafsu, Pak Prapto membuka bajuku dengan paksa hingga beberapa kancing bajuku terputus. Ia robek kaos dalamku dengan tenaganya yang besar. Lantas, ia buka ikat pinggangku dan memelorotkan celana yang kupakai hingga terlepas. Aku berlagak merintih kesakitan, dan itu ternyata semakin memperbesar nafsu Pak Prapto. Terakhir, ia buka celana dalamku dan mengeluarkan kontol beserta buah zakarku. Celana dalamku ia tarik sedemikian rupa dengan sangat bergairah, hingga terlepas dari tubuhku.

Melihat tubuhku yang telanjang bulat terlentang di sofa ruang tamu itu, Pak Prapto segera menindihku. Kurasakan kontolnya begitu keras menimpa kontolku, dan jembutnya terkadang bergesekan dengan perut dan sebagian kontolku. Tampaknya Pak Prapto sudah lupa dengan siapa ia berbuat itu. Ia sudah terkuasai oleh nafsunya yang membara. Ia ciumi bibirku dengan cekatan. Bekas cukuran di wajahnya memberi sensasi tersendiri bagi percumbuan kami. Kali ini aku benar-benar mendesah mendapat perlakuan istimewa dari seorang Pak Prapto yang anggota Brimob itu. Kemudian, Pak Prapto segera memindahkan cumbuannya ke leherku dan dadaku yang ditumbuhi sedikit bulu. Ia jilat dan hisap pentilku, seperti sedang menyedot milik istrinya.

Aku mengangkat bahu Pak Prapto, dan memberi tanda padanya bahwa gantian aku yang melayaninya. Pak Prapto mengambil posisi seperti saat aku ngemut kontolnya, dan segera menyuruhku untuk menuntaskan pekerjaanku. Tak langsung kuemut kontolnya, tapi kujialti dahulu batangnya yang sudah basah oleh keringat. Tampaknya, Pak Prapto sudah tak sabar menerima servis mulutku lagi. Kedua tangannya sudah mencengkeram kepalaku dan membimbingnya ke kontolnya yang masih sangat ngaceng. Aku menaikturunkan kepalaku beberapa kali hingga saat itu tiba. Entah sengaja atau memang refleks, Pak Prapto mendorong kepalaku hingga hampir seluruh kontolnya masuk ke mulutku.
"Aaahh..!" Desah nikmat terlontar dari mulut Pak Prapto seiring dengan maninya yang menyemprot keras pangkal mulutku.
Walau merasakan sebuah rasa yang aneh di lidah, tapi aku tetap berusaha menelan semua pejuh yang dipancarkan kontol Pak Prapto.
"Ohh.. Uhh.. Ooh.. " terdengar beberapa kali lenguhan selama kontol Pak Prapto memuntahkan lahar putihnya. Badannya bergetar getar seiring semprotan spermanya menyemburi mulutku.

Tetap kudiamkan kontol itu di dalam mulutku hingga beranjak melemas. Setelah agak lemas dan tidak berkedut lagi, kukeluarkan kontol Pak Prapto dari mulutku dan kujilati sisa-sisa mani yang menempel pada batang dan kepalanya. Kulihat ekspresi Pak Prapto begitu puas dengan apa yang baru saja kulakukan. Ia masih terengah-engah dengan wajah penuh peluh. Dadanya yang coklat tampak mengkilat dibasahi butir-butir keringatnya.

Aku menegakkan badanku, dan menyandarkannya ke dada Pak Prapto yang masih basah. Kakinya ia silangkan ke kakiku, dan kedua tangannya memeluh tubuhku dari belakang.
"Terima kasih, Dik Bondan!" katanya seraya menciumi leherku.
Kusandarkan kepalaku ke bahunya, hingga ia bisa leluasa menjilat dan mencium leherku. Pak Prapto terus saja memelukku, dan akupun mengimbanginya dengan mengelus dan merabai bagian sensitifnya, hingga satu jam kemudian kontolnya mulai berdiri lagi.

Mengetahui hal ini, aku lantas meminta Pak Prapto untuk mencicipi lobang anusku. Awalnya ia menolak, karena baginya hal itu belum pernah dilakukan. Namun, setelah kuyakinkan bahwa nantinya aku akan merasa nikmat dan diapun juga merasakan hal yang sama, ia menyetujuinya. Ia lumuri kontolnya dengan ludahku dan ludahnya, kemudian ia lumurkan sisanya ke anusku. Setelah itu, ia meletakkan kedua kakiku di atas pundaknya dan ia posisikan kontolnya di depan lubang anusku. Ia mulai memasukkan kepala kontolnya, lantas menghentikannya dikarenakan aku mengerang kesakitan. Aku meyakinkannya bahwa aku akan baik-baik saja, tapi ia tetap saja mengurungkan niatnya.

Sesaat kemudian, ia segera keluar dari kamar dan masuk kembali dengan membawa sebungkus kondom dan gel pelicin. Ia lumurkan gel itu ke kontolnya, lalu ia memakai kondom itu. Di atas kondom itu, ia lumurkan lagi gel itu dengan maksud agar lebih licin. Selanjutnya, ia masukkan kontolnya ke anusku senti demi senti. Aku mencoba menahan rasa sakit yang ditimbulkan untuk meyakinkan Pak Prapto bahwa aku baik-baik saja.
"Lepas saja kondomnya, Pak!" pintaku ketika Pak Prapto berhasil membobol anusku beberapa kali.
"Tapi." jawab Pak Prapto.
"Lepas saja, Pak! Lebih nikmat tanpa kondom, kan?" kataku dengan desah menggoda.

Akhirnya Pak Prapto bersedia melepas kondom dan melanjutkan permainan. Beberapa saat berlalu, Pak Prapto kuminta berhenti. Aku memposisikan diriku dengan doggy style, kemudian kusuruh Pak Prapto untuk memasukkan kontolnya kembali ke anusku. Ia mulai merasakan kenikmatan nge-fuck anusku. Ia tampak semakin lihai dalam menyodomi anusku. Aku mendesah dan mendesis pelan, sementara Pak Prapto dengan kecepatan konstannya merojok lubang kenikmatanku.

Merasa nikmat dengan posisi seperti ini, Pak Prapto semula menolak untuk berganti posisi lagi. Setelah melalui perdebatan kecil, akhirnya Pak Prapto mau merojok anusku dengan posisi berhadapan denganku. Aku tidur telentang dengan kaki ke atas dan badan Pak Prapto berada di antara pahaku. Wajah kami berhadapan sehingga Pak Prapto dengan mudah mendapat dua sensasi sekaligus, yakni menyodomi dan mencumbu wajahku.

Nafas Pak Prapto menderu dan terasa sangat hangat di wajahku ketika posisi itu telah kami jalani selama beberapa saat. Kulingkarkan kakiku di pinggang Pak Prapto, hingga ia bisa menyodokku lebih dalam. Tubuh kami terbasahi keringat. Tanganku melingkari punggungnya, hingga dada kami saling bergesekan. Sementara, kulihat pantat Pak Prapto tak henti-hentinya naik turun memompa maninya agar keluar dari pabriknya. Kali ini, tampaknya Pak Prapto semakin mempercepat gerakannya, juga gerakan pantatku yang mengimbangi goyangannya.

"Ugh.. egh.. nggh.. A.. ku.. aakh.. ah.. keluaarr!" kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut Pak Prapto saat ia mengeluarkan pejuhnya di anusku.
Pak Prapto masih terus memompa anusku di saat-saat orgasmenya. Ia keluarkan kontolnya dari anusku, kemudian menggesek-gesekkannya dengan kontolku yang masih belum sempat memuntahkan lahar putihnya. Tampaknya Pak Prapto menyadari bahwa aku belum mengalami orgasme. Lantas ia menyuruhku berpindah tempat sejenak, dan ia sandarkan tubuhnya ke sandaran sofa ruang tamu. Segera setelah itu, ia tarik tubuhku hingga punggungku menempel pada dadanya. Ia peluk dan ciumi aku sebentar, lalu ia meludah pada kedua tangannya dan menyuruhku berbuat hal yang sama.

Setelah itu, Pak Prapto meraih batang kontolku dan ia genggam dengan tangan kirinya yang penuh ludah. Sementara itu, tangan kanannya memainkan kedua buah zakarku, hingga aku merasa sangat nikmat dibuatnya. Merasakan nikmat yang ditimbulkan oleh sentuhan tangan kasar Pak Prapto, membuatku agak lupa diri. Aku menyandarkan kepalaku ke bahu Pak Prapto, dan kedua tanganku meremas-remas rambutnya. Pak Prapto sendiri selain memainkan kontolku, lagi-lagi ia menciumi leherku. Bahkan, kurasakan ia membuat sebuah cupang di leher bagian bawahku.

Tampaknya Pak Prapto sangat terlatih ngocok, terbukti tangannya lihai memainkan kontolku. Tak hanya dikocoknya, tapi juga diremas dan dipilinnya. Hal tersebut terus dilakukannya sampai aku mencapai batas maksimal. Dengan deras, aku menyemprotkan mani ke udara dan akhirnya jatuh membasahi dada dan perutku. Pak Prapto terus memilin dan meremas kontolku sampai kontolku melemas. Mungkin karena kelelahan, kami berdua tertidur dalam posisi yang masih sama dengan posisi terakhir.
Pagi hari terbangun, aku mendapati tubuhku masih telanjang, namun telah diselimuti oleh Pak Prapto. Bergegas aku ke kamar mandi, membersihkan tubuhku dan segera berpamitan pulang untuk bergegas masuk kantor lagi.



0 komentar: