BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 13 Juli 2009

Kenangan di Kota Dinging

Sore ini berangkat ke Bungurasih, ada rencana nyekar ke makam nenekku di Malang.. Kira-kira udah setahun aku tak pernah mengunjungi makamnya sehubungan dengan kesibukanku yang berjubel. Sudah lama aku erencanaka nyekar ke makam. Bis baru meluncur pukul 16.00 WIB. Sempat macet juga, tapi aku nikmati aja dengan lagu-lagu manis, lagu jatuh cinta.
Hmm....“Apakah ini namanya cinta?
Begitu membingungkan
Aku kini sedang jatuh cinta
Kutanyakan mengapa hatiku resah
Hatiku gundah semuanya jadi serba salah …”
Hihihi … gue jatuh cinta? Yang lebih pas sebenarnya “GUE KAPOK JATUH CINTA”.
Tapi entah dua hari ini sejak kehadiran pacar khayalan, si Mario, kenapa seua serba dia …
Aku sedang Bosan, kuingat kamu …
Aku sedang sedih kuingat kamu …
Thanks, Maya … karyamu memang sederhana dibanding karya Dhani, suamimu, tapi aku bisa merasakan bahwa sederhana itu indah. Kesederhaan dalam memaknai hidup. Kejujuran dalam mengungkapkan perasaan, tanpa rekayasa tanpa puitis yg berlebihan.
Kalo mau jatuh cinta … jatuh cinta saja
Kalo mau nangis nangis saja
Kalo mau sedih sedih saja
Dengan itu semua aku merasa menjadi manusia biasa, manusia yang diberi kelengkapan rasa. Rasa senang, sedih, gundah, ragu, cinta … semua aku terima dan syukuri sebagai anugerah Tuhan padaku.
17.30 WIB Adzan sudah mengalun di telingaku. Bus sudah berhenti di Terminal Arjosari. Sekilas, teringat di sudut terminal itu, aku pernah menanti kedatangan polisi yang kencani tiga tahun lalu. Ah, masa-masa yang indah …
Tapi gue nggak mau berlama-lama menikmati nostalgia itu, ntar disebut banci terminal lagi ama orang yang “sirik” ama gue …
Langsung loncat ke bemo ADL, jurusan Arjosari-Dinoyo-Landungsari.
Dari Dinoyo, ada cowok, brondong, gile ganteng banget yak … duduk pas disebelahku. Wanginya tersebar di seluruh syaraf-syaraf penciumanku. Mengirimnya ke otakku. Wangi yang maskulin … hmm aku nggak bisa deteksi wangi merek apa ini, secara aku bukan pengoleksi parfum. Tapi kalo minyak nyongnyong produksi Ampel gue pasti apal banget. Kepalaku pasti pusing tiap kali bersentuhan dengan aroma parfum itu. Seganteng dan sebesar apapun dia punya k3nti, kalo pake nyongnyong, aku pasti langsung menolaknya !!!!
Kuperhatikan, hmm hidungnya mbangir (jawa=mancung), lengannya berisi dan wajahnya … hmm kalo dia ngaku indo mungkin akan banyak yang percaya. Bemo udah nyampe di depan musium, mau pencet bel kog sayang ya, aku masih pengen berdempetan dengan cowok ini. Tapi kalo mau peres-peres, ogah, tujuan kali ini kan mau nyekar, bukan mau peres-peres lekong, bo’.
Pas di jalan Ijen baru aku pencet aja belnya.
Teeeeeeeetttttttt ….
Ih, hari gini belnya masih juga tet ya bunyinya.

“Kiri Mas …”
Bemo langsung dihentikan di kiri jalan, pas di depan rumah gede. Rumah mantan mener-mener Belanda. Nggak Ge-eR, kayaknya seisi bemo pada mantengin gue saat gue turun dari bemo.
Hahahaha … gue baru sadar, mungkin dikiranya rumah gue disini, di rumah gedongan gede ini. Walah, kalian semua salah! Saudara-saudara gue itu nggak ada yang kaya raya. Semua hidup sederhana, malah kalo di rangking dari nilai 1(paling miskin) sampai dengan nilai 10 (paling kaya), nilainya cuman 3. Tapi gue harus salut, walau miskin, mereka punya pekerjaan sendiri, punya martabat dan tidak menggantungkan nasibnya pada orang lain. Mungkin itu nilai-nilai yang ditanamkan pada keluargaku, mulai dari buyut.

****
Masih inget petuah nenek gue,”Hidup boleh melarat (miskin), tapi harus tetap bermartabat. Karena Cuma itu yang kita punyai. Harga Diri”
Pernah gue bilang, “tapi hidup melarat kan nggak enak, Nek”
Nenekku Cuma senyum,”Cung, kabeh wis onok dalane dewe-dewe”. Artinya semua sudah ada suratannya, suratan nasib.
Gue masih nggak puas,”Trus apa yang dibanggakan dengan jadi miskin?”
Masih tidur di pangkuannya, nenek belai rambutku,”Cung, wong melarat iku luwih cedek karo Gusti Allah”
Artinya,”orang miskin itu lebih dekat dengan Tuhan”
Saat itu, Gue nggak ngerti maknanya. Yang gue ngerti, melarat itu nggak enak, nggak bisa beli mainan robot-robotan elektrik kayak punya tetanggaku. Nggak bisa beli mobil-mobilan sama remote kontrol kayak punya temanku yang anak seorang kolonel.
Jadi kalau masa kecil aku Cuma bisa mainan mobil-mobilan dari kulit jeruk madiun yang dibelah … digeret kesana kemari … itu sudah membanggakan. Atau main tanah liat yang dibikin patung-patungan. Cari kembang enceng gondok, pasar-pasaran, main bola, renang di kali (sungai) yang airnya kotor.
Tapi aku nggak boleh main yang kotor-kotor, ntar jatuh sakit. Aku nggak boleh sepakbola, ntar kepala kena bola pasti jadi kopyor …
Alhasil …
Gue cukup menikmati main bekel. (hahahahah … keren banget, sekarang masih penget nyoba tuh … Bolanya seksi sekali, sayang Cuma satu bolanya … kalo dua sih jadi lain cara mainnya)
Gue mahir mainkan jarum kruistik. Awalnya ngikutin sang bunda yang nyoblosin benang ke dalam kotak-kotak yang tersusun jadi gambar bunga, rumah atau burung. Hah … Burung? Kalo masih inget sih, sulaman pertamaku bentuknya nggak jelas. Bola enggak burung enggak. Pasnya gambar k3nti kali, perpaduan antara burung dan bola …
Nah … itu mungkin pertanda gue mulai jadi “begini”
Hmmm mengenang masa-masa kecil itu, serasa indah sekaligus menyedihkan. Nggak papa, bagaimanapun juga itu adalah masa-masa yang memang harus gue lewatin. Nggak perlu ada yang harus disesali …
Sekarang gue baru nyadar ucapan nenek gue bahwa Miskin itu dekat dengan Tuhan.

Artinya dalem banget, dan itu baru aku sadari beberapa tahun setelah nenekku meninggal dunia.
Begini, dengan menjadi miskin, tak ada sesuatupun yang bisa kita sandarkan selain kepada Tuhan. Mau banggakan kekayaan, kita tak punya. Mau banggakan jabatan, jabatan siapa buk, dapet kerja dengan gaji pas-pasan aja sudah beruntung sekali. Mau banggakan saudara … seua saudara juga sama-sama menderita.
Akhirnya … hanya Allah, hanya Tuhan tempat kami, orang-orang miskin bersandar. Dan aku merasakan sekali itu, saat sekarang harus meniti karier di tempat kerjaku. Tak ada saudara yang punya jabatan disini, tak ada uang lebih untuk melancarkan jabatan. Hanya satu landasanku …semua sudah ada yang mengatur, semua sudah ada waktunya. Jadi aku lebih ikhlas dalam menjalani kehidupan ini.
Jika ada yang menghina, biarlah … gue nggak pantes bales dia. Kita lihat aja, balasan Tuhan pasti lebih pedih buat dia.

Maka, walau tak terlalu religius, larut dalam kewajiban-kewajiban agamaku, satu hal aku hanya ingin menjadi orang baik saja. Tidak mengambil hak orang, tidak menyakiti hati orang, tidak menghina orang.

Berhasilkah?

Hahaha … ternyata susah ya jadi orang baik seperti yang kuinginkan. Gue cuman manusia biasa, yang kadang sirik juga ngelihat kesuksesan orang, gue sesekali juga pengen mengambil hak (suami) orang … Astagfirullah …

***

Turun depan musium kota Malang. Hmm … dinginnya kota Malang emang nggak sedingin beberapa tahun yang lalu. Mungkin kena imbas Global Warming juga yah. Sekarang terlalu banyak gedung-gedung bertingkat.

Jalan lurus terus menuju rumah saudaraku di Mbareng Kulon, belakang masjid, yang lewat gang-gang sempit. Kontras banget sama perumahan di jalan Ijen tadi.

Disambut Pakde plus budeku dengan hangat. Aku segera istirahat di bekas kamar nenekku. Kosong. Aromanya masih melekat. Bau minyak Pak Pung Oil (PPO).

Sholat Isya … terisak sendiri, saat inget … bahwa aku belum sempat menyenangkan nenekku yang telah bayak memberikan aku wejangan hidup. Kebayang, betapa dia sangat repot-repot sekali kalo aku datang bertamu. Segelas kop pahit kesukaanku nggak pernah absen. Belum lagi, pagi-pagi begitu buka mata sudah disiapkan nasi pecel yang lekerrrr banget. Menjelang magrib, biasanya dia siapkan air panas buat aku mandi.

Sekarang … semua sudah nggak ada. Jadi aku lebih mandiri. Bikin kopi sendiri, pagi nyari makan sendiri. Nggak enak kalo harus merepotkan tuan rumah.

----

Hari ke – Lima .
Bangun-bangun udah siang. Jam 09.00. walah, enak banget gue tidurnya. Mungkin kecapekan selama di bus kenarin. Malem nggak sempat ke Alun-alun … ada hujan rintik-rintik juga.
Kubuka tasku, hapeku ada gambar kotak surat. SMS!
Dari AB,”Jadi ketemuan, dimana?”
O iya, sebenarnya ada ketemuan sama temen di malang, dari CG. Semalam janjian di Sarinah, tapi nggak jadi.
“Lo dateng aja ke rumah pakdeku, jl. Mbareng XXXXXX. Sekarang”
“OK”
hahaha … gue tahu, rumah dia dekat banget sama rumah pakdeku ini. Tepatnya di kampung belakangnya.
Rumah lagi sepi, Pakdeku kerja, sementara bude ke pasar.
Menurutku “asik-asik” sebentar aja kan beres toh.
Gue cepet-cepet mandi, persiapan menerima “tamu”.
“Salam lekom”
“Lekom salam”
Ku buka pintu, hmm .. nice!
“AB”
“Arik”
Masih muda, kira-kira 24 tahunan, dengan wajah khas Malang, sekilas kayak Hengki Kurniawan (do’I kan anak Malang juga kan, Blitar tepatnya).
“Kog sepi, mas …”
“Iya, pada kerja tuh …”
Bla bla bla … Ab oke juga. Wawasannya luas. Dia masih menempuh kuliah di Univ. Muhammadiyah. Yang gue salut, dia udah open sama keluarganya bahwa dia gay. Bahwa dia ada keinginan mo ke Aussi selepas kuliahnya bersama pacar mayanya, Brett, warga Sydney. Hmm … kayaknya naib dia lebih beruntung. Masih muda dia sudah ada tujuan yang pasti dalam hidupnya. Nggak ngambang.
Gue bikinin tea panas.
Beberapa saat, hapeku bunyi … ada sms masuk.
“Bentar ya …” aku segera masuk kamar.
Waduh, sms dari Mario, pacar kayalanku,”boleh call sekarang?”
Sebenarnya nggak sopan, lha wong gue kan ada tamu, tapi nggak apa deh aku terima, wong aku juga kangen dengar suranya yang berat dan seksi.
“Boleh. Sekarang ya …”
Kupasang headset di telingaku.
Blalalalalala …. Blalala … ngobrol sama Mario yang katanya sedang sepi dikantornya.
OH MY God … saking asiknya gue lupa, ada AB di ruang tamu.
Segera gue balik menuju ruang tamu. Ups … ternyata AB sudah dibelakangku.
Sejak kapan dia “lancang” nyusul aku ke kamar nenekku.
Tangan AB nakal … mulai gerayangi pahaku. Uhhh … ini kan lagi nelpon, AB sayang. Tapi dia nggak peduli. Aku juga nggak peduli saat dia mulai buka celanaku.
Kutatap matanya … mesum. Nampaknya dia ingin segera dituntaskan nafsunya siang ini. Kulirik jam, hmm … budeku pasti masih lama.
Ku lorotkan celana jeansnya. Gundukan tebalnya sudah terpampang di depan mataku. Kumainkan jari-jariku di luar celana dalamnya yang putih. AB menggeliat, sementara mulutnya mulai serobot putingku.
Ku kode agar dia tidak mengeluarkan suranya. Ntar kedengeran sama AB.
Kurasakan snetuhn bibirnya pas sekali menggigit-gigit permukaan putingku. Sungguh konsentrasi gue pecah. Dengerin Rio ngobrol sambil menikmati sentuhan geligi AB.
Sesekali nafasku tercekik, saat balas omongan Rio, sementara tingkah AB makin tak terkendali. Kentinya merojok-rojok kentiku. Dua kenti berusaha saling dulu mendului. Terasa nikmat sekali.
Sadar dengan keterbatasan posisi, kuambil handbody di sisi kiri kasur. VIVA Hand and Body Lotion, without Whitening! Sumpeh hingga kini gue trauma sama produk pemutih kalo buat acara coli mencoli.
Kuraih tangan AB, kukucuri dengan beberapa tetes handbody. Sementara tangankupun telah basah oleh mazi yang keluar dari ujung k3nti AB. Bening. Aromanya cemara. Segar.
Nafas AB sudah mendesah-desah … pertanda mau keluar!
Aku masih diem, menikmati kocokan tangan Ab di k3ntiku. Nikmat sekali.
AB melenguh panjang … saat pejuhnya muncrat di pusarku. Banyak sekali. Diciumnya bibirku. Deepest kisses! Smelt Good.
“Ada suara apa tuh Rik … anak siapa nangis?” tanya Rio.
“Eeehh .. ii-tt-uu … aa-nn-aa-kkkkk ttt-ee-ee—ttta- nnn---gga … aduh …”
Akupun muncrat dalam pelukan AB.
Thanks AB, you have a wonderfull hand that make me screm … ah a .. au …
Nafasku masih tak teratur … mencoba menstabilkan nafasku yang seolah habis lari jarak 10 kilometer.
AB terlihat sibuk bersihkan sisa-sisa air kenikmatan yag menempel kemana-mana. Kentinya nampak indah, lemas, gede tergantung loyo seolah ucapkan terima kasih … hihihihih …
“Kog lo mendesah gitu sih Rik?” Rio nanya.
“Aduh … sori yo mas … aku habis coli”, bohongku.
“Kog nggak ngajak-ngajak sih?”
HA ?
Kayaknya gue belum siap ngajak dia coli bareng walau Cuma lewat telpon. Masalahnya aku inin menjadikan dia sebagai someone spesial, jadi nggak perlulah nge-sex secara terburu-buru. Biasanya setelah nge-sekpun aku jadi bosan dengannya.
No-No-No … gue masih pengen merasakan jatuh cinta ini sama kamu, Rio.

0 komentar: